BREAKING

Selasa, 13 Desember 2016

Seseorang Tidak Akan Mengenal Islam Sebelum Mengenal Siapa Pembawa Islam (Refleksi Momentum Perayaan Maulid Nabi SAW)

Latar belakang historis perayaan maulid nabi ialah berasal dari tradisi yang dikenalkan oleh Abu Sa’id al-Kokburi, yang dikenal sebagai al-Malik al-Muazzam Muzaffar al-Din yang berkuasa di kota Ibril menyusul pengangkatannya oleh Salahuddin Al-Ayyubi pada tahun 586 H. 

Al-Kokburi terkenal murah hati dan telah mengeluarkan seribu dinar untuk merayakan maulid, dan mengajak sejumlah besar kalangan masyarakat dari berbagai tempat guna mengikuti ritual tersebut, karena memang pada masa itu lapisan masyarakat sudah banyak yang melupakan tokoh-tokoh pejuang Islam. Mereka lebih mengenal dan mengidolakan orang-orang non muslim. 

Sungguh tradisi maulid nabi sampai sekarang masih mengakar kuat dalam kebudayaan lslam, lebih-lebih di kalangan masyarakat NU, meskipun perayaannya sendiri masih menjadi kontroversi. Di antaranya ketidak  sepahaman yang terjadi antara kaum reformis dan kaum tradisionalis. Misalnya ormas Islam Muhammadiyah atau aliran Islam Salafi, yang sampai sekarang menganggap perayaan tersebut adalah bid’ah dan mereka menuduh kaum tradisionalis telah melestarikan bid’ah. Ia mengatakan perayaan maulid sebagai bid’ah dengan alasan bahwa perayaan tersebut tidak berasal dari dogma; keberadaannya tidak didukung baik oleh al-Quran maupun hadis; dan tidak dilakukan oleh nabi maupun ulama salaf. Mereka juga menuduh kaum tradisionalis telah menggunakan hadis yang salah untuk membenarkan perayaan itu, karena tak satu pun kitab hadis otoritatif yang melaporkan hadis yang demikian. Hadis yang dimaksud itu berbunyi: “Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku maka kelak akan kuberi syafaat di hari kiamat.” 

Dalam kitab yang berjudul Husnul Maqosid fi Amalil Maulid al-Suyuthi membela pembaharuan yang baik dan menolak karya al-Faqihani al-Maliki yang secara tegas menolak tradisi perayaan maulid nabi dan mengklasifikasikannya sebagai bidah mazmumah, pendapatnya itu berdasarkan pada pendapat-pendapat al-Asqolany dan al-Haitamy. Begitu juga menjustifikasikan perayaan maulid nabi sebagai anjuran. Ia beralasan bahwa nabi memperingati hari kelahirannya dengan cara berpuasa. Beliau juga menyatakan, selagi perayaan maulid dijadikan hari kegembiraan dengan cara bersedekah dan silaturrahim maka perayaan maulid itu termasuk bid’ah yang dianjurkan (bid’ah hasanah). Jawaban terhadap pertanyaan apakah maulid itu salah atau benar? Kaum tradisionalis merujuk pada pendapat al-Suyuthi yang menyatakan bahwa selama perayaan maulid dijadikan tempat untuk menggembirakan masyarakat dengan memasukkan pembacaan al-Quran, sejarah nabi dan semisalnya, maka perayaan itu secara kategoris termasuk bid’ah hasanah.

Begitulah keberadaannya perayaan maulid nabi SAW. yang sampai sekarang masih menjadi perbincangan dikalangan umat Islam. Meskipun idealnya hal itu bukan suatu yang layak lagi untuk diperdebatkan dan mencari titik temu siapa yang benar dan siapa yang salah, sebab pada dasarnya masyarakat yang merayakan maulid Nabi itu bukan tidak tahu bahwa perayaan maulid tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW. secara eksplisit di masa hidupnya. Mereka merayakan maulid sebenarnya hanya diorientasikan sebagai momentum dan refleksi kebangkitan umat Islam untuk meneladani nabinya Nabi Muhammad SAW. yang hal itu sejalan dengan latar belakang historis perayaan maulid nabi itu sendiri diadakan. Bukankah seorang sejarawan pernah mengatakan "Seseorang Tidak Akan Mengenal Islam Sebelum Mengenal Siapa Pembawa Islam".

Demikian tujuan mulia dari penggagas dan pelaksana perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. yang semuanya terlepas apakah pada perayaan tersebut ada “penyelewengan” seperti memasukkan hiburan musik yang diharamkan  atau perayaan yang berlebihan yang dilarang dalam Islam.  Yang akhirnya dijustifiksi secara merata  oleh pihak yang kurang suka dengan perayaan maulid bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah sayyiah yang tidak perlu dilestarikan.

Dari itu, dipersilahkan bagi yang mengklaim  bahwa dirinya pengikut Rasul secara murni (Salafi Wahabi dll) untuk tidak merayakan maulid dengan catatan tidak perlu berkoar dan memukul rata kesasatan pelaksanaan maulid nabi dengan dalih bid’ah sayyi’ah yang tidak berdasar. Sebab selama maulid dirayakan dengan adab-adab islami serta bertujuan sebagai refleksi kebangkitan umat Islam,  yang notabene pada akhir-akhir ini umat Islam telah melupakan para pembawa dan pejuang Islam dan mereka lebih banyak berfigur pada artis dan tokoh yang tidak bisa dijadikan figur. Lalu jika tujuannya seperti itu, masihkah mereka mengkategorikan  perayaan maulid sebagai bida’ah sayyiah yang esensinya tidak ada larangan secara tegas dalam Islam untuk merayakannya bahkan secara implisit itu dianjurkan.
Waalahu a’almu binafsil amri wa haqiqotil hal. (Abi Hilya)









Posting Komentar

 
Copyright © 2016 Abi Hilya